Memang sudah lama aku tidak naik kereta api.
Pada sore hari itu kereta api tujuan Bogor-Jakarta kota tidak terlalu ramai. Saat itu memang belum waktunya orang pulang kerja. Lagipula tujuanku memang melawan arus. Di sore hari biasanya kereta api yang penuh adalah kereta api yang mengarah ke Bogor. Sedangkan keretaku mengarah ke stasiun Kota.
Banyak bangku yang kosong, tapi aku malas duduk. Biarkan saja orang yang lain yang duduk. Toh tidak lama lagi aku tiba di stasiun Mangga Besar, stasiun tujuanku. Sambil berdiri di dalam kereta api, pikiranku melayang memikirkan kondisi hidupku sekarang ini.
Hari-hari terakhir kuliah program magister manajemenku sudah habis. Yang perlu aku lakukan sekarang hanyalah untuk sesegera mungkin mendapatkan topik pembahasan thesis. Tak sabar rasanya untuk secepat mungkin lulus. Otakku sudah hampir 'habis' dipakai untuk belajar mata kuliah manajemen dan keuangan selama lebih dari 1 tahun.
Hari itu merupakan hari terakhir aku bertemu dengan beberapa rekan kampusku. Mereka pulang duluan sebelum aku. Sambil berjalan keluar aku memeriksa dompetku, apakah uang yang ada cukup buat naik taksi.
Dasar memang lagi apes.
Duitku tinggal 2 ribu rupiah. Seharusnya bisa aku pulang naik taksi dan membayar waktu tiba di rumah, tetapi aku pikir mungkin sesekali aku bisa berhemat dengan pulang naik kereta. Segera aku berjalan kaki keluar kampusku menuju ke stasiun Gondangdia yang letaknya tidak jauh dari kampusku.
Tersadar dari lamunanku, aku memeriksa tiket yang ada di kantong celanaku. Pemeriksaan tiket semakin ketat, berbeda dengan ketika aku masih kuliah di Depok. Dahulu petugas-petugas terkadang malas untuk memeriksa tiket para penumpang yang baru turun. Akupun dulu terkadang malas menyerahkan tiket, toh aku sudah mengeluarkan uang untuk membeli tiket tersebut. Harganyapun murah: tiket Depok-Mangga Besar hanya enam ratus rupiah saja. Walau demikian, masih ada juga orang yang tidak membeli tiket. Yah, pengamanannya kurang ketat. Mungkin pikir mereka buat apa beli tiket, toh tidak diperiksa. Kalaupun iya, itupun juga jarang terjadi. Yah, mungkin itu pikir mereka.
Itu dulu. Lain sekarang. Dari Gondangdia ke Mangga Besar saja harga tiketnya sudah seribu rupiah. Sudah pasti akan lebih mahal dari Depok ke Mangga Besar. Dan sekarang para petugas sangat ketat dalam memeriksa tiket para penumpang.
Tiketku masih ada. Amanlah aku.
Banyak yang mengatakan kalau naik kereta tidak aman. Beberapa temanku pernah menjadi korban pencurian di kereta api. Dompet dan telepon genggamku sudah kusimpan di tas ransel yang hari itu kubawa. Aku selalu melakukan hal ini setiap kali naik kereta. Sekali kejadian aku tidak membawa tas ransel sehingga dompet dan telepon genggam aku taruh di kantong celanaku. Hampir saja raib telepon genggamku. Tapi itu cerita lama dan untung saja waktu itu aku waspada.
Barang yang aku bawa naik kereta api dulu sewaktu kuliah lebih banyak dan lebih berat daripada yang kubawa sekarang ini. Aku pergi ke Depok setiap awal minggu membawa dua buah tas besar yang isinya pakaian dan perlengkapan kuliahku. Pada akhir minggu aku pun membawa kedua buah tas tersebut, tapi kali ini berisi pakaian kotor untuk dicuci di rumah. Aku tidak mau membiarkan pakaianku dicuci oleh orang-orang kost. Ingin tertawa rasanya mengingat masa lalu, waktu itu setiap akhir minggu aku serasa pulang kampung menggotong-gotong 2 tas yang besar.
Kereta api mulai mengurangi kecepatannya. Kembali lagi aku tersadar dari lamunanku. Kereta terkadang berhenti ketika mendekati stasiun Gambir, memberikan jalan bagi kereta-kereta yang hendak menuju ke luar kota. Dan tampaknya kali ini kereta yang kutumpangi juga demikian. Aku menuju ke pintu kereta yang selalu terbuka lebar, mengintip ke arah depan sambil berharap agar kereta segera berjalan kembali. Mobil-mobil di bawah jalur kereta sibuk berlalu-lalang, pengemudinya tertelan kesibukan sehari-hari. Matahari yang semakin condong ke barat menunjukkan sore akan segera menjelang.
Penjaja berbagai macam makanan, minuman dan barang berlalu lalang di dalam gerbongku. Banyak macam barang yang dijual di dalam kereta api, dari bolpen sampai buku resep makanan. Dengan harga miring pula. Aku sendiri terkadang suka membeli barang jajaan yang dijual di kereta. Ada beberapa kali aku membeli permen jahe yang biasanya suka dijajakan oleh ibu-ibu tua. Sesekali waktu aku membeli minum untuk memuaskan dahaga oleh karena panjangnya perjalan dari Depok ke Mangga Besar (yang biasanya memakan waktu antara empat puluh lima menit hingga satu setengah jam). Ada seorang temanku yang sesekali waktu membeli bolpen di kereta, aku lupa apakah karena ia lupa membawa atau kehilangan bolpen miliknya.
Banyak pula pengamen dan pengemis di dalam kereta. Begitu seringnya aku naik kereta sewaktu kuliah hampir aku hafal semua pengamen, pengemis, dan pemohon dana untuk pembangunan bangunan ibadah. Waktu itu aku sampai hafal RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten lokasi dari sebuah masjid yang panitia pembangunannya dengan gigihnya meminta bantuan dana dari para penumpang kereta. Sampai suatu saat mereka tidak pernah kelihatan lagi. Semoga mereka sukses membangun rumah ibadat yang mereka impikan.
Aku sering merelakan uang recehku kepada para pengamen, apalagi kalau nyanyian mereka bagus dan bukan sekedar teriakan tak bernada. Ada sekali waktu sekelompok pengamen bernyanyi dengan sangat bagus. Mereka menggunakan biola, gitar, dan gentong aqua galonan sebagai instrumen mereka. Lead singers-nya adalah 2 orang gadis. Suara mereka sangat bagus. Kalau dilihat dari gelagatnya mereka mengamen untuk mengumpulkan dana untuk kegiatan keagamaan. Aku lima ribu rupiah lebih miskin hari itu.
Memang banyak macam orang yang bisa ditemui waktu naik kereta api Jakarta-Bogor.
Tak lama kereta berjalan kembali. Semakin dekat aku ke stasiun tujuanku, Mangga Besar. Sekali lagi aku mendekatkan diri ke pintu kereta. Dengan satu tangan memegang railing yang ada di atas pintu, aku sedikit mencondongkan kepalaku keluar pintu kereta. Aku senang merasakan angin menerpa wajah dan rambutku. Ada sedikit ketenangan kudapatkan di bisikan angin.
Tentu saja aku berhati-hati melakukan ini, aku tak mau terjatuh dari kereta ke aspal yang jauhnya 15 meter (mungkin lebih) di bawah. Pengalaman pertamaku naik kereta diwarnai dengan masalah 'jatuh'. Waktu itu aku dalam perjalan pulang dari kegiatan bakti sosial yang diadakan kampusku. Aku dan teman-teman kampusku waktu salah 'memposisikan' diri di dalam kereta yang sedang penuh dengan penumpang. Setibanya di stasiun Depok kita tidak cukup cepat menuju ke pintu sehingga setibanya di mulut pintu kereta sudah melaju agak cepat. Akhirnya aku melompat dan jatuh terduduk di peron stasiun. Tak lama setelah itu, seorang temanku yang terakhir turun dari kereta setelah aku juga jatuh terduduk di peron dengan posisi yang sama persis seperti aku. Teman-temanku yang lain tertawa. Untung kita tidak terluka sedikit pun, hanya sedikit malu. Yah, tak apalah menghibur teman-teman sesekali.
Tibalah di stasiun Mangga Besar. Segera aku menapakkan kaki di peron ketika laju kereta sudah cukup pelan. Aku memutuskan untuk jalan kaki ke rumah. Toh jarak stasiun ke rumahku hanya kurang lebih 1 km (aku juga sudah apes hari itu). Mungkin karena sudah lama tidak menyiksa tubuh dengan olah raga rutin setibanya aku di rumah peluh membasahi tubuh. Matahari sore tampaknya juga masih bersemangat memancarkan panas yang cukup sehingga pengap rasanya.
Pulas diriku tertidur tak lama setelah aku mandi. Aku tidak mimpi kereta api waktu itu. Andaikan iya...
(NB: ibuku bilang sewaktu aku kecil aku suka sekali kereta api sehingga ia pernah membuat sebuah kue ulang tahun besar dengan hiasan kereta api di atasnya).
Tulisan ini didedikasikan bagi mereka yang pernah merasakan suka dukanya naik kereta api Jakarta-Bogor. Semoga lebih banyak suka daripada dukanya.
Pada sore hari itu kereta api tujuan Bogor-Jakarta kota tidak terlalu ramai. Saat itu memang belum waktunya orang pulang kerja. Lagipula tujuanku memang melawan arus. Di sore hari biasanya kereta api yang penuh adalah kereta api yang mengarah ke Bogor. Sedangkan keretaku mengarah ke stasiun Kota.
Banyak bangku yang kosong, tapi aku malas duduk. Biarkan saja orang yang lain yang duduk. Toh tidak lama lagi aku tiba di stasiun Mangga Besar, stasiun tujuanku. Sambil berdiri di dalam kereta api, pikiranku melayang memikirkan kondisi hidupku sekarang ini.
Hari-hari terakhir kuliah program magister manajemenku sudah habis. Yang perlu aku lakukan sekarang hanyalah untuk sesegera mungkin mendapatkan topik pembahasan thesis. Tak sabar rasanya untuk secepat mungkin lulus. Otakku sudah hampir 'habis' dipakai untuk belajar mata kuliah manajemen dan keuangan selama lebih dari 1 tahun.
Hari itu merupakan hari terakhir aku bertemu dengan beberapa rekan kampusku. Mereka pulang duluan sebelum aku. Sambil berjalan keluar aku memeriksa dompetku, apakah uang yang ada cukup buat naik taksi.
Dasar memang lagi apes.
Duitku tinggal 2 ribu rupiah. Seharusnya bisa aku pulang naik taksi dan membayar waktu tiba di rumah, tetapi aku pikir mungkin sesekali aku bisa berhemat dengan pulang naik kereta. Segera aku berjalan kaki keluar kampusku menuju ke stasiun Gondangdia yang letaknya tidak jauh dari kampusku.
Tersadar dari lamunanku, aku memeriksa tiket yang ada di kantong celanaku. Pemeriksaan tiket semakin ketat, berbeda dengan ketika aku masih kuliah di Depok. Dahulu petugas-petugas terkadang malas untuk memeriksa tiket para penumpang yang baru turun. Akupun dulu terkadang malas menyerahkan tiket, toh aku sudah mengeluarkan uang untuk membeli tiket tersebut. Harganyapun murah: tiket Depok-Mangga Besar hanya enam ratus rupiah saja. Walau demikian, masih ada juga orang yang tidak membeli tiket. Yah, pengamanannya kurang ketat. Mungkin pikir mereka buat apa beli tiket, toh tidak diperiksa. Kalaupun iya, itupun juga jarang terjadi. Yah, mungkin itu pikir mereka.
Itu dulu. Lain sekarang. Dari Gondangdia ke Mangga Besar saja harga tiketnya sudah seribu rupiah. Sudah pasti akan lebih mahal dari Depok ke Mangga Besar. Dan sekarang para petugas sangat ketat dalam memeriksa tiket para penumpang.
Tiketku masih ada. Amanlah aku.
Banyak yang mengatakan kalau naik kereta tidak aman. Beberapa temanku pernah menjadi korban pencurian di kereta api. Dompet dan telepon genggamku sudah kusimpan di tas ransel yang hari itu kubawa. Aku selalu melakukan hal ini setiap kali naik kereta. Sekali kejadian aku tidak membawa tas ransel sehingga dompet dan telepon genggam aku taruh di kantong celanaku. Hampir saja raib telepon genggamku. Tapi itu cerita lama dan untung saja waktu itu aku waspada.
Barang yang aku bawa naik kereta api dulu sewaktu kuliah lebih banyak dan lebih berat daripada yang kubawa sekarang ini. Aku pergi ke Depok setiap awal minggu membawa dua buah tas besar yang isinya pakaian dan perlengkapan kuliahku. Pada akhir minggu aku pun membawa kedua buah tas tersebut, tapi kali ini berisi pakaian kotor untuk dicuci di rumah. Aku tidak mau membiarkan pakaianku dicuci oleh orang-orang kost. Ingin tertawa rasanya mengingat masa lalu, waktu itu setiap akhir minggu aku serasa pulang kampung menggotong-gotong 2 tas yang besar.
Kereta api mulai mengurangi kecepatannya. Kembali lagi aku tersadar dari lamunanku. Kereta terkadang berhenti ketika mendekati stasiun Gambir, memberikan jalan bagi kereta-kereta yang hendak menuju ke luar kota. Dan tampaknya kali ini kereta yang kutumpangi juga demikian. Aku menuju ke pintu kereta yang selalu terbuka lebar, mengintip ke arah depan sambil berharap agar kereta segera berjalan kembali. Mobil-mobil di bawah jalur kereta sibuk berlalu-lalang, pengemudinya tertelan kesibukan sehari-hari. Matahari yang semakin condong ke barat menunjukkan sore akan segera menjelang.
Penjaja berbagai macam makanan, minuman dan barang berlalu lalang di dalam gerbongku. Banyak macam barang yang dijual di dalam kereta api, dari bolpen sampai buku resep makanan. Dengan harga miring pula. Aku sendiri terkadang suka membeli barang jajaan yang dijual di kereta. Ada beberapa kali aku membeli permen jahe yang biasanya suka dijajakan oleh ibu-ibu tua. Sesekali waktu aku membeli minum untuk memuaskan dahaga oleh karena panjangnya perjalan dari Depok ke Mangga Besar (yang biasanya memakan waktu antara empat puluh lima menit hingga satu setengah jam). Ada seorang temanku yang sesekali waktu membeli bolpen di kereta, aku lupa apakah karena ia lupa membawa atau kehilangan bolpen miliknya.
Banyak pula pengamen dan pengemis di dalam kereta. Begitu seringnya aku naik kereta sewaktu kuliah hampir aku hafal semua pengamen, pengemis, dan pemohon dana untuk pembangunan bangunan ibadah. Waktu itu aku sampai hafal RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten lokasi dari sebuah masjid yang panitia pembangunannya dengan gigihnya meminta bantuan dana dari para penumpang kereta. Sampai suatu saat mereka tidak pernah kelihatan lagi. Semoga mereka sukses membangun rumah ibadat yang mereka impikan.
Aku sering merelakan uang recehku kepada para pengamen, apalagi kalau nyanyian mereka bagus dan bukan sekedar teriakan tak bernada. Ada sekali waktu sekelompok pengamen bernyanyi dengan sangat bagus. Mereka menggunakan biola, gitar, dan gentong aqua galonan sebagai instrumen mereka. Lead singers-nya adalah 2 orang gadis. Suara mereka sangat bagus. Kalau dilihat dari gelagatnya mereka mengamen untuk mengumpulkan dana untuk kegiatan keagamaan. Aku lima ribu rupiah lebih miskin hari itu.
Memang banyak macam orang yang bisa ditemui waktu naik kereta api Jakarta-Bogor.
Tak lama kereta berjalan kembali. Semakin dekat aku ke stasiun tujuanku, Mangga Besar. Sekali lagi aku mendekatkan diri ke pintu kereta. Dengan satu tangan memegang railing yang ada di atas pintu, aku sedikit mencondongkan kepalaku keluar pintu kereta. Aku senang merasakan angin menerpa wajah dan rambutku. Ada sedikit ketenangan kudapatkan di bisikan angin.
Tentu saja aku berhati-hati melakukan ini, aku tak mau terjatuh dari kereta ke aspal yang jauhnya 15 meter (mungkin lebih) di bawah. Pengalaman pertamaku naik kereta diwarnai dengan masalah 'jatuh'. Waktu itu aku dalam perjalan pulang dari kegiatan bakti sosial yang diadakan kampusku. Aku dan teman-teman kampusku waktu salah 'memposisikan' diri di dalam kereta yang sedang penuh dengan penumpang. Setibanya di stasiun Depok kita tidak cukup cepat menuju ke pintu sehingga setibanya di mulut pintu kereta sudah melaju agak cepat. Akhirnya aku melompat dan jatuh terduduk di peron stasiun. Tak lama setelah itu, seorang temanku yang terakhir turun dari kereta setelah aku juga jatuh terduduk di peron dengan posisi yang sama persis seperti aku. Teman-temanku yang lain tertawa. Untung kita tidak terluka sedikit pun, hanya sedikit malu. Yah, tak apalah menghibur teman-teman sesekali.
Tibalah di stasiun Mangga Besar. Segera aku menapakkan kaki di peron ketika laju kereta sudah cukup pelan. Aku memutuskan untuk jalan kaki ke rumah. Toh jarak stasiun ke rumahku hanya kurang lebih 1 km (aku juga sudah apes hari itu). Mungkin karena sudah lama tidak menyiksa tubuh dengan olah raga rutin setibanya aku di rumah peluh membasahi tubuh. Matahari sore tampaknya juga masih bersemangat memancarkan panas yang cukup sehingga pengap rasanya.
Pulas diriku tertidur tak lama setelah aku mandi. Aku tidak mimpi kereta api waktu itu. Andaikan iya...
(NB: ibuku bilang sewaktu aku kecil aku suka sekali kereta api sehingga ia pernah membuat sebuah kue ulang tahun besar dengan hiasan kereta api di atasnya).
Tulisan ini didedikasikan bagi mereka yang pernah merasakan suka dukanya naik kereta api Jakarta-Bogor. Semoga lebih banyak suka daripada dukanya.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home